Contoh Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda karya Fauzia. A

 menu

Logo

Search for:https://www.brainacademy.id/blog/contoh-cerita-pendek


Cari artikel di sini!

Brainies Bertanya

 

Materi Belajar

 

Pojok Sekolah

15 Contoh Cerpen Singkat berbagai Tema yang Seru dan Menarik

Fauzia Astuti


July 26, 2023 • 33 minutes read



 contoh-cerpen-berdasarkan-jenisnya


Cerpen merupakan prosa pendek yang terdiri tidak lebih dari 10.000 kata, dan hanya memiliki konflik tunggal. Ada beberapa contoh cerpen yang bisa kamu jadikan bahan belajar. Yuk simak!



Waktu sekolah dulu, jujur aja aku suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi kalau udah disuruh menulis dan membaca cerpen. Ibaratnya, mengarang cerpen itu sama saja dengan menerapkan seluruh ilmu yang kamu pelajari di pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti contohnya, tanda baca, berbagai imbuhan, ataupun penerapan jenis-jenis teks.


Nah, bagi kamu yang juga suka membaca cerpen, yuk lihat beberapa contoh cerpen singkat dari berbagai macam tema yang seru dan menarik berikut ini.


 


Pengertian Cerpen

Jadi … cerpen itu apa, sih? Cerpen itu singkatan dari “cerita pendek”. Seperti namanya, cerpen adalah bentuk prosa fiksi singkat yang memiliki konflik tunggal. Kalau mau gampangnya, sih, cerpen itu cerita fiksi yang sekali habis, mulai dari pengenalan tokoh, konflik, sampai penyelesaian. Panjang cerpen juga nggak boleh lebih dari 10.000 kata, loh.


 


Jenis-Jenis Cerpen

Cerpen sendiri memiliki tiga jenis, yaitu:


1. Cerpen Pendek

Loh, kan cerpen itu udah “pendek”, apa ada yang lebih pendek? Hehe, seperti namanya, cerpen pendek hanya terdiri dari 500 – 700 kata. Bahkan, terkadang ada juga yang menyebutnya dengan ficlet.


2. Cerpen Sedang

Cerpen sedang adalah cerita yang memiliki panjang 700 – 1000 kata.


3. Cerpen Panjang

Cerpen ini tersusun lebih dari 1000 kata. Bahkan ada yang sampai mencapai 5000 – 10.000 kata.


Baca juga: Memahami Ciri-ciri, Struktur, dan Contoh Cerita Pendek


 


Contoh Cerpen

Supaya lebih paham, ada beberapa contoh cerita pendek yang bisa kamu jadikan acuan dalam belajar. Yuk, disimak!


 


1. Contoh Cerpen berjudul Hutan Merah karya Fauzia. A

       Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.


       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.


       “Hei, lihat itu!”


       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.


Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”


       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!


       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..


       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.


       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.


       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.


       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.


       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.


       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”


       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.


       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.


       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.


       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.


       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.


       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?


       “Cepat pergi, Bora!”


       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.


       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”


       “Jangan, Bora!” bentak Pipin


       Kraaak! Braaak!


       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.


       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.


       Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.


Baca juga: Kuliah Jurusan Sastra Indonesia, Kerja Jadi Apa Ya?


 


2. Contoh Cerpen berjudul Dilema Nara karya Alya Khalisah

Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa tangisan tadi malam.


Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.


Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.


Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.


“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.


Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.


“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.


Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”


 Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! hardik gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya.


Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.


Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.


Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.


Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.


“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.


“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.


“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”


Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya.


Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.


*


Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.


Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang diinginkan semua orang.


Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan.


Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.


Baca juga: Mengenal Kalimat Efektif, Ciri, dan Contohnya


 pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Im



Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.


Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.


Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.


“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”


Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”


“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”


Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.


“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”


Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.


Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?


Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.


Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banya


Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.


Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, ku

Komentar

Postingan populer dari blog ini